Cerita ini merupakan kisah nyata yang saya tulis untuk tugas salah satu mata kuliah di fakultas saya. tema yang diangkat adalah Feminisme. semoga kisah ini menginspirasi kita semua:)
Saya adalah anak dari seorang
kuli bangunan. Saya anak kedua dari tiga bersaudara, dua saudara saya
laki-laki. Kakak saya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah apartemen di
kawasan Jakarta Selatan. Adik saya masih duduk di sekolah dasar. Di keluarga
saya hanya saya yang merasakan manisnya perguruan tinggi, itu pun tidak saya
dapatkan dengan mudah. Saya adalah orang betawi asli, dimana keluarga saya
masih sangat kuno atau kolot. Anak perempuan yang masih perawan/belum bersuami
benar-benar dijaga, setidaknya hanya jadi anak rumahan, sekolah pun rasanya tak
perlu tinggi-tinggi, toh nyatanya saya hanya akan bekerja di rumah mengurus
anak dan suami seperti ibu dan bibi-bibi saya yang lain. Entah apa yang merasuki
pikiran saya waktu itu, saya ingin merasakan pendidikan yang lebih tinggi, saya
tidak ingin hanya seperti ibu, ayah, dan kakak saya yang hanya mengenyam
pendidikan sampai tingkat SMA saja. Saya diam-diam mengikuti program beasiswa
dari salah satu universitas swasta yang jauh dari tempat tinggal saya. Semua
tes saya ikuti dengan sebaik mungkin dan hasilnya saya lulus dan mendapatkan
tempat tinggal gratis di asrama milik universitas tersebut. Betapa terkejutnya
ibu dan ayah saya mendapat kabar kelulusan saya di sana. Mereka sangat melarang
dan menginginkan saya membatalkannya karena saya harus tinggal jauh dari
mereka, satu hal yang tidak bisa mereka terima mengingat saya adalah anak
perempuan satu-satunya, menginap di rumah teman pun saya tidak pernah diizinkan,
apalagi saya harus tinggal jauh dari mereka. Tak mudah meyakinkan mereka hingga
akhirnya keluarga besar dan teman-teman saya meyakinkan mereka. Saya akhirnya
diizinkan berkuliah di sana. Ternyata perjuangan saya tidak hanya sampai di
sini. Ayah saya tidak bisa memberikan uang saku yang memadai untuk kebutuhan
sehari-hari saya di sana. Setiap hari saya membantu salah satu teman saya
berjualan roti cane, memang tidak banyak keuntungan yang saya dapatkan tapi
setidaknya saya dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari saya di sana, saya pun
hampir tidak pernah meminta uang lagi kepada ayah saya kecuali ada keperluan
yang sangat genting. Saya juga selalu mengisi liburan semester saya dengan
bekerja di sebuah kantin di kantor kecamatan, agar saya tetap memiliki uang
jajan saat libur kuliah karena saat libur berarti saya tidak bisa berjualan roti dan tak ada pemasukan.
Setahun
kemudian ibu saya meninggal dunia, semua terasa semakin sulit, adik saya entah
siapa yang akan mengurus, ayah dan kakak saya pun terlalu bergantung kepada
ibu, hanya saya yang diharapkan untuk mengurus mereka menggantikan ibu. Dari
mulai memasak, mencuci dan mengurus kebutuhan mereka dan rumah hampir semua
dilakukan oleh ibu. Saya semakin bimbang, apakah saya harus melepaskan
pendidikan yang sudah saya tempuh hampir setengah jalan ini demi mengurus
mereka? Sakit rasanya harus memilih, saya ingin melakukan keduanya, tetapi saya
hanyalah manusia dengan segala keterbatasan. Sikap ayah dan kakak saya memang
seperti menyudutkan saya, saya seperti tidak memiliki kesempatan untuk memilih,
mereka seperti menuntut kodrat saya sebagai wanita yang seharusnya menggantikan
peran ibu untuk mengurus mereka dan juga rumah tangga. Ini semua tidak adil
menurut saya, saya pun punya kesempatan mencapai apa yang saya cita-citakan,
saya berhak menyelesaikan studi saya di perguruan tinggi karena itu salah satu
mimpi saya. Saya yakin Tuhan tidak tidur, Dia memang Maha Mendengar dan Maha
Pengasih. Salah satu bibi saya bersedia mengurus adik saya, adik saya akan tinggal
bersamanya dan akan pulang ke rumah saat akhir pekan, tetapi ayah tidak melepas
adik saya untuk tinggal, dia ingin merawat adik saya. Selama itu dia tidak
pergi bekerja, tak ada pemasukan, tak ada lagi kiriman uang, untuk makan mereka
pun seadanya. Saya mencoba membujuk ayah untuk kembali bekerja karena kami
butuh uang untuk makan dan biaya sekolah adik, persediaan uang juga semakin
menipis. Akhirnya ayah mau kembali bekerja dan merelakan adik saya untuk
tinggal bersama bibi.
Di
tahun kedua, beasiswa asrama saya berakhir, saya harus menyewa kamar kost,
entah saya harus membayar uang sewa dari mana, saya pasrah. Tetapi saya yakin
Tuhan selalu membantu saya. Tak lama kemudian, pemerintah mengeluarkan beasiswa
untuk mahasiswa di seluruh Indonesia yang berada di jurusan Ekonomi Syariah.
Saya sangat antusias mendapatkannya. Saya ikuti tes tertulis dan wawancara
dengan sebaik mungkin. Tuhan Maha Baik. Dari ratusan orang hanya terpilih empat
puluh orang saja, salah satunya adalah saya. Saya menerima beasiswa sepuluh
juta rupiah, setidaknya saya merasa beban biaya perkuliahan dan biaya sewa
kamar saya sudah teratasi, sisanya saya bisa tabung dan berbagi dengan adik.
Dan sesudah saya menyelesaikan studi strata satu ini, saya bercita-cita untuk
mengambil magister.
Mungkin
cerita saya tidak terlalu berkesan, tetapi saya merasa bisa melalu batas
kotakan dan membuktikan bahwa perempuan Betawi bisa lebih maju dan
berpendidikan tinggi. Tak masalah apapun rintangannya, saya percaya setiap
mimpi selalu ada jalannya masing-masing. Saya membuktikan dengan segala
keterbatasan saya, saya mampu mewujudkannya. Saya tidak peduli apakah saya
wanita atau pria, dari suku mana saya berasal, tetapi saya yakin setiap manusia
berhak mendapatkan apa yang ia cita-citakan tanpa memandang siapa dia.
Kisah
ini adalah kisah dari salah satu sahabat kecil saya. Banyak hal yang membuat
saya terinspirasi darinya. Saya merasa harus selalu lebih banyak bersyukur akan
kehidupan yang saya rasa jauh lebih baik darinya. Dia mengajarkan saya kekuatan
mimpi, kerja keras, dan doa. Terima kasih sahabat. Engkau sungguh luar biasa.
Teruntuk sahabatku, NM :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar