Akhirnya hari-hari memilukan itu
perlahan berlalu, aku sudah mulai menyusun kembali kepingan hatiku yang
berserakan dan kini aku sudah mulai bisa kembali berdiri walau masih belum
sepenuhnya tegak. Tetapi, aku masih belum sepenuhnya terbangun dari mimpi
burukku.
Kemarin rasanya baru saja
kebahagiaanku direbut paksa. Sakit sekali rasanya. Entah siapa yang harus ku
salahkan atas semua ini. Seperti sebuah gedung yang dicabut pondasinya. Habis. Hancur
berkeping-keping. Tapi kini aku sadar, aku tak bisa menyalahkan siapapun. Ini halnya
tentang waktu. Ya, waktu kami sudah habis. Semua harus berakhir.
Aku memang tak pernah paham
definisi cinta. Aku tak pernah bisa mendeskripsikan apa itu cinta dan bagaimana
itu cinta. Sedari kecil yang ku tahu hanya cinta kepada Tuhan, orangtua,
keluarga, sahabat, dan guru-guruku. Semakin
bertambah dewasa aku mengenal cinta yang berbeda, cinta dari orang lain. Tetapi
cinta tersebut mudah sekali hilang setelah orang tersebut pergi. Aku tidak
mengerti apakah yang aku rasakan itu benar cinta atau kesenangan sesaat saja. Saat
aku mulai mengenal cinta yang lain dan mulai merasa terluka olehnya, merasa
dikhianati, diperlakukan seenaknya, tidak merasa dihargai, dan tak jarang
diduakan. Sungguh sangat kecewa dan aku berharap seharusnya aku tidak perlu
mengenal cinta selain cinta yang ku kenal sejak kecil.
Hingga suatu hari dia datang
tanpa aba. Tak ada yang spesial darinya yang menarik perhatianku diawal
pertemuan kami. Yang ku tahu, semenarik apapun dia aku tak akan mungkin
tertarik karena kami berbeda. Dari waktu kewaktu, kedekatan kami membuat semua yang
ku yakini awalnya runtuh perlahan. Dia mengetuk pintu hatiku dengan sederhana. Tak
ada kata manis, rayuan, bunga, atau kejutan yang diidam-idamkan para gadis. Dia
yang apa adanya, selalu bisa menyenangkanku, menjadi teman bicaraku sehari-hari
saat kami satu rumah di sebuah desa. Nyaman sekali tanpa terkatakan. Grafik hubungan
kami dari mulai angka nol hingga entah di angka keberapa saat ini, semakin hari
semakin naik.
Siapa yang tidak memimpikan
memiliki kekasih yang romantis? Kekasih yang penuh kejutan, mengirim bunga
disaat-saat tertentu, membelikan ini itu. Ya, sejatinya aku ingin. Tetapi aku
menemukan keromantisan yang lain. Keromantisan yang hanya dimiliki olehnya. Dia
selalu memperlakukanku sebagai wanita, itu yang terpenting. Dia selalu menjaga
dan melindungiku sekuat dan sebisanya, memperlakukanku dengan lembut, tak
pernah membentak apalagi memukul, dia yang selalu sabar menghadapi omelan dan ambekanku,
tahu bagaimana caranya menghadapiku, jika tidak tahu dia akan bertanya apa yang
seharusnya ia lakukan untukku. Dia memberikan sebagian waktu sibuknya,
menyenangkanku, menunjukkan bahwa keberadaanku untukknya juga penting. Ketika aku
panik, menyebalkan, marah, atau apapun yang menjengkelkan, ia hanya akan diam,
mengusap kepalaku, dan menenangkanku. Semenyebalkannya aku, ia tetap berkata
dengan lembut kepadaku. Aku selalu mengingat kalimat-kalimat yang biasanya
orang lain menganggap itu hanya gombalan semata, tapi bagiku itu memang ia
penuhi. Dan semua kata-kata itu tak pernah terasa berlebihan.
“Aku janji gak akan bentak-bentak
kamu”
“Aku gak pernah bisa kasih kamu
apa-apa. Makanya aku berusaha untuk gak nyakitin kamu”
“Aku gak bisa liat kamu nangis.”
“Aku harusnya gak bikin kamu
nangis kayak gini. Tapi aku harus gimana?”
“Aku gak bisa ngejanjiin apa-apa.
Tapi seenggaknya aku bakalan nyenengin kamu sebisa aku”
“Ya mau kamu minta penjelasan berkali-kali
pun jawaban aku akan tetep sama. Itu gimana kamu nya bisa nerima kenyataannya
kayak gitu atau gak”
“Aku gak ngerti kenapa cewek
sebaik kamu ada yang sampe hati nyakitin kamu sebegitunya. Gak tau bersyukur
emang laki-laki kayak gitu!”
“Ya ampun jangan nangis. Aku gak
marah kok sama kamu.”
“Mana bisa aku bosen sama kamu. Aku
gak tau bisa dapet cewek kayak gini lagi atau gak nantinya.”
“Kamu dream girl aku banget. Dan memang
cuma ada dalam mimpi aku.”
“Kamu emang bukan yang tercantik,
tapi hati kamu paling cantik. Buat aku.”
“Enak yah yang nantinya jadi
suami kamu. Pasti diurusin banget deh.”
Aku tak yakin ia ingat apa yang
ia pernah ucapkan, tapi aku ingat dengan detil ucapannya. Ah, rasanya baru
kemarin aku mendengarnya mengucapkan kata-kata itu. Begitu tertancap di hati. Samapi
akhirnya kami harus berpisah, ia tak pernah meninggalkan sedikit pun luka di
hati. Tak bisa dipungkiri kami juga pernah bertengkar sesekali, tapi tak pernah
lama dan berlarut, semua selalu bisa kami selesaikan dengan baik. Dan bukan
berarti dirinya tidak memiliki kekurangan, itu mungkin karena aku menerima
dirinya secara utuh. Kami memang selalu saling melengkapi. Terlalu sempurna
sampai kami sadar bahwa kami berbeda. Ya, ada tembok besar yang menghalangi
kami. Sangat kokoh. Kami tak sanggup menghancurkannya. Merayap, kami berusaha
melalu tembok penghalang tersebut, tapi tak pernah kunjung menemukan ujungnya. Pada
akhirnya, kami yang harus dihancurkan.
Senja kala itu, kami memutuskan
harus menyudahi semua ini. Memang terlalu egois bila kami masih bersama. Banyak
pihak yang kami lukai. Tuhan, orangtua, teman-teman, dan banyak lagi. Aku yakin
dengan melepasnya adalah bukti ketulusan cintaku. Aku tersadar bahwa cinta tak
harus memiliki bukan hanya sekedar omong kosong. Dia memang sudah yang terbaik
menurutku, tetapi tidak menurut Tuhan. Untuk saat ini. Untuk kedepannya kita
semua tidak pernah ada yang tahu pasti bagaimananya.
Kami seperti minyak dan air dalam
satu bejana. Terlihat bersama, namun tak dapat menyatu, hanya bersisian. Ketika
bejana tersebut dikocok, kami seolah-olah bersatu, namun akhirnya kembali
bersisian. Aku sadar bahwa kami hanya harus kehilangan status sebagai “kekasih”,
tapi hati kami, cinta kami, rasa sayang kami masih tetap utuh, terus menyala. Dan
kami tak pernah tahu kapan nyala itu akan redup, harus dikemanakan cinta ini,
dan harus berapa lama disimpan. Yang jelas untukku, walau suatu hari ada orang
baru yang hadir takkan pernah menggantikan posisinya. Ia punya tempat
tersendiri di hatiku.
Dan Tuhan Maha Baik tak
membiarkanku benar-benar kehilangannya. Kami ada dalam sebuah keluarga “KKN”,
aku masih bisa melihat senyum manisnya, mendengar suaranya, bahkan masih bisa bersua
dengannya. Eksistensinya masih bisa ku rasakan walau hanya sebagai seorang
teman. Kenyataan itu yang membuat hatiku kini cepat sembuh. Memang kami hanya
diciptakan untuk saling berdampingan, bukan untuk bersatu.
Kita bisa menentukan dengan siapa
kita akan menikah, tetapi kita tidak bisa menentukan dengan siapa kita akan
jatuh cinta. Hubungan ku dengannya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Tuhan ingin
aku belajar sesuatu darinya, dan Tuhan ingin menunjukkan bahwa tak semua lelaki
buruk, ada lelaki yang tulus mencintaiku, meski dia tidak diciptakan untukku. Dan
aku bersyukur pernah memilikinya. Semoga ia tak pernah benar-benar pergi. Apapun
hubungan kami. Selamanya.
*baca kisah kami
Di sini