Waktu terasa
lamban sekali berjalan, semua kenangan seperti film yang diputar tiada
hentinya. Sebuah nama yang tak pernah sehari pun berhenti kusebut. Sketsa wajah
yang tak pernah berhenti kutatap.
“Apa aku ini
sudah gila?” batinku menyeruak.
“Apa yang
harus kulakukan sekarang? Apa aku harus berhenti mencintainya? Berpikir untuk
melakukannya saja aku tak sanggup.”
Berpura-pura
melupakannya dan membuka hati untuk yang lain membuatku tersiksa sedemikian
dalamnya. Aku ingin berteriak keras dan ingin kumuntahkan semua kesakitan ini. Aku
benci tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja tanpanya. Kadang aku letih
terbangun dengan dada sesak seperti tertombak pada dinginnya malam.
Senyuman
itu, dapatkah aku melihatnya lagi? Senyuman yang selalu ia hadirkan saat
bersamaku.
Sentuhan
lembutnya di kepalaku yang selalu menenangkanku saat marah, panik, gelisah, dan
sedih, kini hanya menjadi hal semu.
Tak
ada hal instan di dunia ini. Termasuk mie instan yang tetap memerlukan proses
untuk bertransformasi menjadi makanan yang lezat. Mie harus merasakan panasnya
didihan air untuk melunakkan dirinya hingga siap untuk disantap. Begitu pula
yang harus kutempuh saat ini. Merasakat sakit luar biasa entah sampai kapan
lamanya hingga hatiku kembali utuh. Tidak, hatiku takkan pernah kembali utuh. Ia
telah membawa pergi potongan hatiku.
Terlalu
mustahil berharap kami kembali, tak ada yang pernah berpihak pada kami, bahkan
hati kami sendiri. Akhir dari semua kebahagiaan ini terlalu menyakitkan buatku,
juga buatnya. Bayang-bayangnya selalu mengisi setiap sudut tempat yang kupijak.
Berharap waktu bisa membawaku kembali pada saat masa-masa bahagia kami dan
menyuruhnya berhenti agar semua tak begitu saja berlalu.
Jika
aku dapat memasuki dunia lain yang dapat membawamu bersamaku lagi, aku memilih
untuk tinggal di sana selamanya. Jika dunia tersebut hanyalah dunia mimpi, aku
ingin tidur selama mungkin agar tetap bersamamu. Tapi ini semua hanyalah
pengandaian belaka. Aku benci begini.
Aku
ingin bertanya padanya,
“Apakah
aku harus berhenti mencintaimu? Berhenti merindukanmu? Berhenti berangan
memilikimu lagi? Berhenti berdoa untukmu?”
“Apakah
aku bisa melakukannya?”
“Apa
kau sudah melakukannya?”
“Apakah
berusaha mengikhlaskanku terasa berat untukmu?”
Aku
selalu iri dengan mereka yang berhasil menjalin hubungan yang sama dengan apa
yang kami jalani. aku sadar Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk
umat-Nya, tapi kami harus berpisah dan aku sadar dirinya bukan yang terbaik,
untukku.
Untuk
saat ini kami memang menyerah dengan keadaan. Lelah rasanya menghadapi
pertentangan berbagai pihak, sedih rasanya menyakiti pihak lain dengan hubungan
kami. Ya, pada akhirnya kami yang harus menyerah.
Merangkak
aku menghadapi takdir yang tak pernah bisa kuperangi. Biar waktu yang mengobati
semua luka ini. Mungkin ini akan memakan waktu lama bahkan seumur hidup. Aku pasrah.
Aku
tak akan pernah bisa berhenti mencintainya hingga Tuhan bilang cukup dan
perlahan membantuku mengahapus bayangnya. Tapi, akankah Tuhan berbaik hati
menghadiahkan dirinya kembali untukku?
-Hati
yang terdalam-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar