Entah
mengapa malam ini jemariku dengan sendirinya menari-nari lincah di tut keyboard laptopku. Malam ini, tanggal 24
Desember, bertepatan dengan malam natal. Mungkin karena malam natal kali ini
sangat berbeda dengan tahun lalu buatmu, juga aku yang tahun kemarin masih di
sampingmu.
Malam
natal tahun ini sudah tidak ada lagi “Kita”. Kita yang setahun lalu di malam
ini saling bercerita apa saja yang kita lakukan. Aku yang saat itu sedang sibuk
mengemas barang-barangku untuk liburan ke luar kota dan kamu yang sibuk menata
rumahmu menyambut hari natal besok. Malam ini aku tak lagi ke luar kota, aku di
kamarku, mengenang tahun lalu. Kamu pasti melakukan hal yang sama seperti tahun
lalu malam ini. Apa kamu merindukanku dan kebersamaan kita saat itu?
Desember
2015, saat itu hari raya kita bersisian. Aku ingat sekali di awal bulan
desember saat kita belajar di kamar kostku aku melihat kalender untuk melihat
jadwal UAS kita. Tiba-tiba aku mengagetkanmu yang sedang asyik dengan gitarku.
“Eh
say, masa maulid sama natalan sampingan nih, maulid dluan tapinya.” Seruku
sambil menunjuk kalender.
“Maulid
itu yang apa deh?”
“Maulid
itu hari kelahiran Nabi Muhammad SAW sayang.”
“Hooo..
Sama-sama hari kelahiran dong yah.”
Ah
iya yah, tapi tetap saja berbeda karena Nabi Muhammad hanya kami (umat Islam) anggap sebagai
Rasul, utusan Allah. Tapi tak perlu kuungkapkan rasanya, menurutku “Untukmu agamamu
dan untukku agamaku” saja. Kita memang tak pernah berdebat soal agama, hanya
saja kamu sering bertanya tentang apa yang dilakukan agamaku dan apa maksudnya.
Kadang aku juga sesekali bertanya jika aku tak paham. Kita lebih sering
sharing, tak bermaksud mencari pembenaran yang hanya berujung pada
pertengkaran. Karena agama urusannya dengan keimanan atahu keyakinan, sesuatu
yang tak bisa dipaksakan. Aku ingat ketika kamu mengantarku pulang kita
membicarakan banyak hal salah satunya tentang natal. Ya, awalnya kukira aku
akan menyinggungmu kemudian kita bertengkar, tapi nyatanya tidak sama sekali. Aku
sangat ingat obrolan itu.
“Sayang.”
“Apa
sayang?” sambil mengusap kepalaku dengan tangan kirinya, tangan kanannya sibuk
memegang kemudi.
“Ngomong-ngomong
soal natalan. Hmmm..”
“Kamu
kenapa? Kok gelisah gitu?”
“Iya,
maaf kalau aku gak akan ngucapin pada hari itu ke kamu.”
“Kenapa
gitu?” sambil menarik tangannya dan menatap ke arahku beberapa detik.
“As
you know, kalau di agamaku itu udah menyangkut Aqidah. Kenapa begitu? Karena pemahaman
kita tentang Nabi Isa berbeda sayang. Kamu yakin dia sebagai Tuhan kamu,
sedangkan aku yakin Nabi Isa itu rasul kayak Nabi Muhammad, utusan Allah juga.
Jadi, kalau aku ngucapin sama aja aku kayak meyakini apa yang kamu percaya
secara gak langsung, makanya itu udah menyangkut aqidah. Ya kan setiap agama
punya peraturan masing-masing, jadi aku harap kamu ngerti.”
“Hooo..
Oke kalau emang itu alasannya. Ya mau gimana lagi kalau itu udah aturan dari
agama kamu, masa aku marah atahu maksain kamu buat ngucapin sih? Kan gak. Lagian
kalau aku maksa dan gak terima kamu gak ngucapin ke aku namanya jadi aku yang gak
toleransi dong sama kamu. Lagian tolernsi itu kan luas, orang-orang sekarang
aja yang mempersempit. Dengan gak ganggu kami badah juga udah cukup kok. Tanpa diucapin
juga kami tetep khidmat-khidmat aja ngerayainnya, dan ada kamu sekarang aja aku udah seneng banget.”
“Alhamdulillah,
makasih yah sayang. Kamu bijak banget sih.”
“Sama-sama
sayang, aku tahu kok toleransi di antara kita emang gak mudah, aku tahu kamu
orangnya cukup hati-hati juga kalau berurusan sama yang menyangkut agama. Lakuin
apa yang kamu yakini aja, aku gak akan pernah maksa-maksa kamu.” Sambil kembali
mengusap kepalaku dan tersenyum.
Memang
benar-benar tidak mudah, aku harus terbiasa menunggu pulang dari gereja sebelum
pergi kencan di akhir pekan, terbiasa mendengarkamu bernyanyi lagu rohani
dengan gitarku, terbiasa mendengar lagu rohani yang kamu putar di tape mobilmu(yang kadang langsung kuganti dengan
lagu lain.hehe), terbiasa hanya melihatmu menunggu di luar atau sekedar
memerhatikanku saat sholat. Kamu yang harus terbiasa menungguku sholat ketika sedang
pergi ke mall atau kemana pun, terbiasa mendengarkanku mengaji saat setelah
sholat maghrib, terbiasa menemaniku berbuka puasa sunnah, terbiasa menghentikan
musik saat aku sedang mengaji atau mendengar suara azan. Kita yang harus
terbiasa dengan cara berdoa kita yang berbeda, merayakan hari raya yang
berbeda, dan pergi ke tempat ibadah yang berbeda.
Tanggal
24 Desember, pada pagi hari seperti biasanya aku menemukan pesan darimu.
“Pagi
sayangku. Selamat Maulid Nabi Muhammad, selamat liburan juga sama keluarga. Love
you”
Kamu
juga tak lupa mengingatkanku untuk tak pulang terlalu sore karena pasti jalanan
akan macet dipadati mobil-mobil yang akan menuju gereja, mengingat arah yang
kulalui terdapat banyak gereja. Kamu juga tak pernah absen memberikan ucapan di setiap hari perayaan agamaku, tak pernah
marah atau meminta padaku untuk memberimu ucapan juga. Saat natal tiba aku
hanya bisa bilang:
“Pagi
sayangku. Have a nice day baby. THR nya kumpulin buat jajanin aku yah.hoho Love
you”
Dengan
bercanda juga kamu menjawab:
“Pagi
juga sayang. Aku setiap hari juga Nice day kok :p haha kamu mau jajan apa sih
emang? Aku beliin pokokya aku lagi jadi Rich
Boy gilaaaa.haha love you too”
Senang
rasanya bersisian denganmu tanpa saling menyakiti satu sama lain, saling mendoakan,
saling menghargai. Aku sangat tahu kemungkinan hubungan kita akan berhasil
sangat-sangat kecil, tapi entah mengapa rasanya sulit sekali meninggalkanmu. Aku
tahu setiap renungan malam dan setiap kebaktianmu selalu terselip kegelisahan
tentang hubungan kita, begitupun aku di setiap sholatku. Kita sangat bahagia
kala itu, juga sepaket dengan kegelisahan-kegelisahan yang ada. Aku yang selalu
membayangkanmu suatu hari berada di shaf
depan saat sholat berjamaah dan mungkin kamu juga membayankan bisa mengajakku
ke gereja setiap minggunya. Tapi, Tuhan berkata lain. Kita dipertemukan hanya
untuk bersisian, bukan bersatu, saling mengenal perbedaan tanpa memandang
sebelah mata, tanpa kebencian, tanpa memandang najis satu sama lainnya,
mengajarkan bahwa toleransi itu indah jika sesuai kadarnya tanpa
mengesampingkan aturan agama masing-masing. Tuhan hanya ingin menguji seberapa
besar keimanan kita terhadap apa yang kita yakini tanpa merusaknya dengan
hal-hal keduaniawian. Tuhan tahu kita saling mencintai, sangat. Tapi, kita
berhasil menunjukkan bahwa kita lebih mencintai Tuhan kita.
Untukmu
yang sedang berbahagia malam ini dan besok, semoga sehat selalu J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar