Minggu, 26 Juni 2016

Harus Apa?



Waktu terasa lamban sekali berjalan, semua kenangan seperti film yang diputar tiada hentinya. Sebuah nama yang tak pernah sehari pun berhenti kusebut. Sketsa wajah yang tak pernah berhenti kutatap.

“Apa aku ini sudah gila?” batinku menyeruak.

“Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus berhenti mencintainya? Berpikir untuk melakukannya saja aku tak sanggup.”


Berpura-pura melupakannya dan membuka hati untuk yang lain membuatku tersiksa sedemikian dalamnya. Aku ingin berteriak keras dan ingin kumuntahkan semua kesakitan ini. Aku benci tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja tanpanya. Kadang aku letih terbangun dengan dada sesak seperti tertombak pada dinginnya malam.


Senyuman itu, dapatkah aku melihatnya lagi? Senyuman yang selalu ia hadirkan saat bersamaku.
Sentuhan lembutnya di kepalaku yang selalu menenangkanku saat marah, panik, gelisah, dan sedih, kini hanya menjadi hal semu.


Tak ada hal instan di dunia ini. Termasuk mie instan yang tetap memerlukan proses untuk bertransformasi menjadi makanan yang lezat. Mie harus merasakan panasnya didihan air untuk melunakkan dirinya hingga siap untuk disantap. Begitu pula yang harus kutempuh saat ini. Merasakat sakit luar biasa entah sampai kapan lamanya hingga hatiku kembali utuh. Tidak, hatiku takkan pernah kembali utuh. Ia telah membawa pergi potongan hatiku.


Terlalu mustahil berharap kami kembali, tak ada yang pernah berpihak pada kami, bahkan hati kami sendiri. Akhir dari semua kebahagiaan ini terlalu menyakitkan buatku, juga buatnya. Bayang-bayangnya selalu mengisi setiap sudut tempat yang kupijak. Berharap waktu bisa membawaku kembali pada saat masa-masa bahagia kami dan menyuruhnya berhenti agar semua tak begitu saja berlalu.


Jika aku dapat memasuki dunia lain yang dapat membawamu bersamaku lagi, aku memilih untuk tinggal di sana selamanya. Jika dunia tersebut hanyalah dunia mimpi, aku ingin tidur selama mungkin agar tetap bersamamu. Tapi ini semua hanyalah pengandaian belaka. Aku benci begini.


Aku ingin bertanya padanya,

“Apakah aku harus berhenti mencintaimu? Berhenti merindukanmu? Berhenti berangan memilikimu lagi? Berhenti berdoa untukmu?”

“Apakah aku bisa melakukannya?”

“Apa kau sudah melakukannya?”

“Apakah berusaha mengikhlaskanku terasa berat untukmu?”


Aku selalu iri dengan mereka yang berhasil menjalin hubungan yang sama dengan apa yang kami jalani. aku sadar Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk umat-Nya, tapi kami harus berpisah dan aku sadar dirinya bukan yang terbaik, untukku.


Untuk saat ini kami memang menyerah dengan keadaan. Lelah rasanya menghadapi pertentangan berbagai pihak, sedih rasanya menyakiti pihak lain dengan hubungan kami. Ya, pada akhirnya kami yang harus menyerah.


Merangkak aku menghadapi takdir yang tak pernah bisa kuperangi. Biar waktu yang mengobati semua luka ini. Mungkin ini akan memakan waktu lama bahkan seumur hidup. Aku pasrah.


Aku tak akan pernah bisa berhenti mencintainya hingga Tuhan bilang cukup dan perlahan membantuku mengahapus bayangnya. Tapi, akankah Tuhan berbaik hati menghadiahkan dirinya kembali untukku?


-Hati yang terdalam-

Senin, 13 Juni 2016

Anugrah Terindah



Akhirnya hari-hari memilukan itu perlahan berlalu, aku sudah mulai menyusun kembali kepingan hatiku yang berserakan dan kini aku sudah mulai bisa kembali berdiri walau masih belum sepenuhnya tegak. Tetapi, aku masih belum sepenuhnya terbangun dari mimpi burukku.

Kemarin rasanya baru saja kebahagiaanku direbut paksa. Sakit sekali rasanya. Entah siapa yang harus ku salahkan atas semua ini. Seperti sebuah gedung yang dicabut pondasinya. Habis. Hancur berkeping-keping. Tapi kini aku sadar, aku tak bisa menyalahkan siapapun. Ini halnya tentang waktu. Ya, waktu kami sudah habis. Semua harus berakhir.

Aku memang tak pernah paham definisi cinta. Aku tak pernah bisa mendeskripsikan apa itu cinta dan bagaimana itu cinta. Sedari kecil yang ku tahu hanya cinta kepada Tuhan, orangtua, keluarga, sahabat,  dan guru-guruku. Semakin bertambah dewasa aku mengenal cinta yang berbeda, cinta dari orang lain. Tetapi cinta tersebut mudah sekali hilang setelah orang tersebut pergi. Aku tidak mengerti apakah yang aku rasakan itu benar cinta atau kesenangan sesaat saja. Saat aku mulai mengenal cinta yang lain dan mulai merasa terluka olehnya, merasa dikhianati, diperlakukan seenaknya, tidak merasa dihargai, dan tak jarang diduakan. Sungguh sangat kecewa dan aku berharap seharusnya aku tidak perlu mengenal cinta selain cinta yang ku kenal sejak kecil. 

Hingga suatu hari dia datang tanpa aba. Tak ada yang spesial darinya yang menarik perhatianku diawal pertemuan kami. Yang ku tahu, semenarik apapun dia aku tak akan mungkin tertarik karena kami berbeda. Dari waktu kewaktu, kedekatan kami membuat semua yang ku yakini awalnya runtuh perlahan. Dia mengetuk pintu hatiku dengan sederhana. Tak ada kata manis, rayuan, bunga, atau kejutan yang diidam-idamkan para gadis. Dia yang apa adanya, selalu bisa menyenangkanku, menjadi teman bicaraku sehari-hari saat kami satu rumah di sebuah desa. Nyaman sekali tanpa terkatakan. Grafik hubungan kami dari mulai angka nol hingga entah di angka keberapa saat ini, semakin hari semakin naik. 

Siapa yang tidak memimpikan memiliki kekasih yang romantis? Kekasih yang penuh kejutan, mengirim bunga disaat-saat tertentu, membelikan ini itu. Ya, sejatinya aku ingin. Tetapi aku menemukan keromantisan yang lain. Keromantisan yang hanya dimiliki olehnya. Dia selalu memperlakukanku sebagai wanita, itu yang terpenting. Dia selalu menjaga dan melindungiku sekuat dan sebisanya, memperlakukanku dengan lembut, tak pernah membentak apalagi memukul, dia yang selalu sabar menghadapi omelan dan ambekanku, tahu bagaimana caranya menghadapiku, jika tidak tahu dia akan bertanya apa yang seharusnya ia lakukan untukku. Dia memberikan sebagian waktu sibuknya, menyenangkanku, menunjukkan bahwa keberadaanku untukknya juga penting. Ketika aku panik, menyebalkan, marah, atau apapun yang menjengkelkan, ia hanya akan diam, mengusap kepalaku, dan menenangkanku. Semenyebalkannya aku, ia tetap berkata dengan lembut kepadaku. Aku selalu mengingat kalimat-kalimat yang biasanya orang lain menganggap itu hanya gombalan semata, tapi bagiku itu memang ia penuhi. Dan semua kata-kata itu tak pernah terasa berlebihan.

“Aku janji gak akan bentak-bentak kamu”
“Aku gak pernah bisa kasih kamu apa-apa. Makanya aku berusaha untuk gak nyakitin kamu”
“Aku gak bisa liat kamu nangis.”
“Aku harusnya gak bikin kamu nangis kayak gini. Tapi aku harus gimana?”
“Aku gak bisa ngejanjiin apa-apa. Tapi seenggaknya aku bakalan nyenengin kamu sebisa aku”
“Ya mau kamu minta penjelasan berkali-kali pun jawaban aku akan tetep sama. Itu gimana kamu nya bisa nerima kenyataannya kayak gitu atau gak”
“Aku gak ngerti kenapa cewek sebaik kamu ada yang sampe hati nyakitin kamu sebegitunya. Gak tau bersyukur emang laki-laki kayak gitu!”
“Ya ampun jangan nangis. Aku gak marah kok sama kamu.”
“Mana bisa aku bosen sama kamu. Aku gak tau bisa dapet cewek kayak gini lagi atau gak nantinya.”
“Kamu dream girl aku banget. Dan memang cuma ada dalam mimpi aku.”
“Kamu emang bukan yang tercantik, tapi hati kamu paling cantik. Buat aku.”
“Enak yah yang nantinya jadi suami kamu. Pasti diurusin banget deh.”

Aku tak yakin ia ingat apa yang ia pernah ucapkan, tapi aku ingat dengan detil ucapannya. Ah, rasanya baru kemarin aku mendengarnya mengucapkan kata-kata itu. Begitu tertancap di hati. Samapi akhirnya kami harus berpisah, ia tak pernah meninggalkan sedikit pun luka di hati. Tak bisa dipungkiri kami juga pernah bertengkar sesekali, tapi tak pernah lama dan berlarut, semua selalu bisa kami selesaikan dengan baik. Dan bukan berarti dirinya tidak memiliki kekurangan, itu mungkin karena aku menerima dirinya secara utuh. Kami memang selalu saling melengkapi. Terlalu sempurna sampai kami sadar bahwa kami berbeda. Ya, ada tembok besar yang menghalangi kami. Sangat kokoh. Kami tak sanggup menghancurkannya. Merayap, kami berusaha melalu tembok penghalang tersebut, tapi tak pernah kunjung menemukan ujungnya. Pada akhirnya, kami yang harus dihancurkan. 

Senja kala itu, kami memutuskan harus menyudahi semua ini. Memang terlalu egois bila kami masih bersama. Banyak pihak yang kami lukai. Tuhan, orangtua, teman-teman, dan banyak lagi. Aku yakin dengan melepasnya adalah bukti ketulusan cintaku. Aku tersadar bahwa cinta tak harus memiliki bukan hanya sekedar omong kosong. Dia memang sudah yang terbaik menurutku, tetapi tidak menurut Tuhan. Untuk saat ini. Untuk kedepannya kita semua tidak pernah ada yang tahu pasti bagaimananya. 

Kami seperti minyak dan air dalam satu bejana. Terlihat bersama, namun tak dapat menyatu, hanya bersisian. Ketika bejana tersebut dikocok, kami seolah-olah bersatu, namun akhirnya kembali bersisian. Aku sadar bahwa kami hanya harus kehilangan status sebagai “kekasih”, tapi hati kami, cinta kami, rasa sayang kami masih tetap utuh, terus menyala. Dan kami tak pernah tahu kapan nyala itu akan redup, harus dikemanakan cinta ini, dan harus berapa lama disimpan. Yang jelas untukku, walau suatu hari ada orang baru yang hadir takkan pernah menggantikan posisinya. Ia punya tempat tersendiri di hatiku. 

Dan Tuhan Maha Baik tak membiarkanku benar-benar kehilangannya. Kami ada dalam sebuah keluarga “KKN”, aku masih bisa melihat senyum manisnya, mendengar suaranya, bahkan masih bisa bersua dengannya. Eksistensinya masih bisa ku rasakan walau hanya sebagai seorang teman. Kenyataan itu yang membuat hatiku kini cepat sembuh. Memang kami hanya diciptakan untuk saling berdampingan, bukan untuk bersatu. 

Kita bisa menentukan dengan siapa kita akan menikah, tetapi kita tidak bisa menentukan dengan siapa kita akan jatuh cinta. Hubungan ku dengannya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Tuhan ingin aku belajar sesuatu darinya, dan Tuhan ingin menunjukkan bahwa tak semua lelaki buruk, ada lelaki yang tulus mencintaiku, meski dia tidak diciptakan untukku. Dan aku bersyukur pernah memilikinya. Semoga ia tak pernah benar-benar pergi. Apapun hubungan kami. Selamanya.


*baca kisah kami Di sini