Sabtu, 24 Desember 2016

Malam Tanggal 24 Desember (Toleransi Kita)

Entah mengapa malam ini jemariku dengan sendirinya menari-nari lincah di tut keyboard laptopku. Malam ini, tanggal 24 Desember, bertepatan dengan malam natal. Mungkin karena malam natal kali ini sangat berbeda dengan tahun lalu buatmu, juga aku yang tahun kemarin masih di sampingmu.

Malam natal tahun ini sudah tidak ada lagi “Kita”. Kita yang setahun lalu di malam ini saling bercerita apa saja yang kita lakukan. Aku yang saat itu sedang sibuk mengemas barang-barangku untuk liburan ke luar kota dan kamu yang sibuk menata rumahmu menyambut hari natal besok. Malam ini aku tak lagi ke luar kota, aku di kamarku, mengenang tahun lalu. Kamu pasti melakukan hal yang sama seperti tahun lalu malam ini. Apa kamu merindukanku dan kebersamaan kita saat itu?

Desember 2015, saat itu hari raya kita bersisian. Aku ingat sekali di awal bulan desember saat kita belajar di kamar kostku aku melihat kalender untuk melihat jadwal UAS kita. Tiba-tiba aku mengagetkanmu yang sedang asyik dengan gitarku.
“Eh say, masa maulid sama natalan sampingan nih, maulid dluan tapinya.” Seruku sambil menunjuk kalender.
“Maulid itu yang apa deh?”
“Maulid itu hari kelahiran Nabi Muhammad SAW sayang.”
“Hooo.. Sama-sama hari kelahiran dong yah.”
Ah iya yah, tapi tetap saja berbeda karena  Nabi Muhammad hanya kami (umat Islam) anggap sebagai Rasul, utusan Allah. Tapi tak perlu kuungkapkan rasanya, menurutku “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” saja. Kita memang tak pernah berdebat soal agama, hanya saja kamu sering bertanya tentang apa yang dilakukan agamaku dan apa maksudnya. Kadang aku juga sesekali bertanya jika aku tak paham. Kita lebih sering sharing, tak bermaksud mencari pembenaran yang hanya berujung pada pertengkaran. Karena agama urusannya dengan keimanan atahu keyakinan, sesuatu yang tak bisa dipaksakan. Aku ingat ketika kamu mengantarku pulang kita membicarakan banyak hal salah satunya tentang natal. Ya, awalnya kukira aku akan menyinggungmu kemudian kita bertengkar, tapi nyatanya tidak sama sekali. Aku sangat ingat obrolan itu.
“Sayang.”
“Apa sayang?” sambil mengusap kepalaku dengan tangan kirinya, tangan kanannya sibuk memegang kemudi.
“Ngomong-ngomong soal natalan. Hmmm..”
“Kamu kenapa? Kok gelisah gitu?”
“Iya, maaf kalau aku gak akan ngucapin pada hari itu ke kamu.”
“Kenapa gitu?” sambil menarik tangannya dan menatap ke arahku beberapa detik.
“As you know, kalau di agamaku itu udah menyangkut Aqidah. Kenapa begitu? Karena pemahaman kita tentang Nabi Isa berbeda sayang. Kamu yakin dia sebagai Tuhan kamu, sedangkan aku yakin Nabi Isa itu rasul kayak Nabi Muhammad, utusan Allah juga. Jadi, kalau aku ngucapin sama aja aku kayak meyakini apa yang kamu percaya secara gak langsung, makanya itu udah menyangkut aqidah. Ya kan setiap agama punya peraturan masing-masing, jadi aku harap kamu ngerti.”
“Hooo.. Oke kalau emang itu alasannya. Ya mau gimana lagi kalau itu udah aturan dari agama kamu, masa aku marah atahu maksain kamu buat ngucapin sih? Kan gak. Lagian kalau aku maksa dan gak terima kamu gak ngucapin ke aku namanya jadi aku yang gak toleransi dong sama kamu. Lagian tolernsi itu kan luas, orang-orang sekarang aja yang mempersempit. Dengan gak ganggu kami badah juga udah cukup kok. Tanpa diucapin juga kami tetep khidmat-khidmat aja ngerayainnya, dan ada kamu sekarang aja aku udah seneng banget.”
“Alhamdulillah, makasih yah sayang. Kamu bijak banget sih.”
“Sama-sama sayang, aku tahu kok toleransi di antara kita emang gak mudah, aku tahu kamu orangnya cukup hati-hati juga kalau berurusan sama yang menyangkut agama. Lakuin apa yang kamu yakini aja, aku gak akan pernah maksa-maksa kamu.” Sambil kembali mengusap kepalaku dan tersenyum.
Memang benar-benar tidak mudah, aku harus terbiasa menunggu pulang dari gereja sebelum pergi kencan di akhir pekan, terbiasa mendengarkamu bernyanyi lagu rohani dengan gitarku, terbiasa mendengar lagu rohani yang kamu putar di tape  mobilmu(yang kadang langsung kuganti dengan lagu lain.hehe), terbiasa hanya melihatmu menunggu di luar atau sekedar memerhatikanku saat sholat. Kamu yang harus terbiasa menungguku sholat ketika sedang pergi ke mall atau kemana pun, terbiasa mendengarkanku mengaji saat setelah sholat maghrib, terbiasa menemaniku berbuka puasa sunnah, terbiasa menghentikan musik saat aku sedang mengaji atau mendengar suara azan. Kita yang harus terbiasa dengan cara berdoa kita yang berbeda, merayakan hari raya yang berbeda, dan pergi ke tempat ibadah yang berbeda.

Tanggal 24 Desember, pada pagi hari seperti biasanya aku menemukan pesan darimu.
“Pagi sayangku. Selamat Maulid Nabi Muhammad, selamat liburan juga sama keluarga. Love you”
Kamu juga tak lupa mengingatkanku untuk tak pulang terlalu sore karena pasti jalanan akan macet dipadati mobil-mobil yang akan menuju gereja, mengingat arah yang kulalui terdapat banyak gereja. Kamu juga tak pernah absen memberikan ucapan di setiap hari perayaan agamaku, tak pernah marah atau meminta padaku untuk memberimu ucapan juga. Saat natal tiba aku hanya bisa bilang:
“Pagi sayangku. Have a nice day baby. THR nya kumpulin buat jajanin aku yah.hoho Love you”
Dengan bercanda juga kamu menjawab:
“Pagi juga sayang. Aku setiap hari juga Nice day kok :p haha kamu mau jajan apa sih emang? Aku beliin pokokya aku lagi jadi Rich Boy gilaaaa.haha love you too”

Senang rasanya bersisian denganmu tanpa saling menyakiti satu sama lain, saling mendoakan, saling menghargai. Aku sangat tahu kemungkinan hubungan kita akan berhasil sangat-sangat kecil, tapi entah mengapa rasanya sulit sekali meninggalkanmu. Aku tahu setiap renungan malam dan setiap kebaktianmu selalu terselip kegelisahan tentang hubungan kita, begitupun aku di setiap sholatku. Kita sangat bahagia kala itu, juga sepaket dengan kegelisahan-kegelisahan yang ada. Aku yang selalu membayangkanmu suatu hari berada di shaf depan saat sholat berjamaah dan mungkin kamu juga membayankan bisa mengajakku ke gereja setiap minggunya. Tapi, Tuhan berkata lain. Kita dipertemukan hanya untuk bersisian, bukan bersatu, saling mengenal perbedaan tanpa memandang sebelah mata, tanpa kebencian, tanpa memandang najis satu sama lainnya, mengajarkan bahwa toleransi itu indah jika sesuai kadarnya tanpa mengesampingkan aturan agama masing-masing. Tuhan hanya ingin menguji seberapa besar keimanan kita terhadap apa yang kita yakini tanpa merusaknya dengan hal-hal keduaniawian. Tuhan tahu kita saling mencintai, sangat. Tapi, kita berhasil menunjukkan bahwa kita lebih mencintai Tuhan kita.


Untukmu yang sedang berbahagia malam ini dan besok, semoga sehat selalu J

Rabu, 07 Desember 2016

Kisah Ini Kututup

Apa yang harus kumulai dalam halaman ini? Akan kumulai dengan bagaimana aku memulai kembali perjalanan hidupku tanpa menoleh lagi ke arahnya.

Aku hanya wanita biasa yang seringkali khilaf. Aku yang kadang tak dapat menahan perasaan yang sedang kurasakan, aku yang seringkali melakukan hal-hal yang tak pantas untuk dilakukan, dan aku yang pernah jatuh cinta dengan seseorang yang tak seharusnya.

“Aku yang pernah jatuh cinta dengan seseorang yang tak seharusnya” kemudian jatuh sejatuh-jatuhnya. Sungguh sesuatu yang memang tak sepatutnya kulakukan. Pedih setelahnya memang sangsi yang harus kutelan bulat-bulat. Merintih kesakitan selama berbulan-bulan lamanya. Perlahan kucoba menarik tombak yang  menghujam menembus bagian terdalam, yang menimbulkan nyeri luar biasa di dada. Ruang pikiran yang penuh sesak akan kenangan-kenangan indah yang setiap mengingatnya membuat lukaku kembali basah, mungin luka tersebut takan pernah mengering. Mengerang hebat di tengah keheningan malam, ingin rasanya kubanting apa yang sekiranya bisa kubanting, mengemis memohon kepada-Nya agar Dia mau mengembalikan sosoknya lagi kepelukanku. Bodoh memang. Aku yang tak tahu diri ini meminta sesuatu yang memang diambil karena untuk kebaikanku sendiri. Aku yang sepertinya tak bisa berterima kasih dan tak mau mencoba memahami hikmah dari semua ini.

Aku ini apa? Seseorang yang sering tidak konsisten dalam menentukan perasaan. Kadang aku sangat bersyukur kami dipisahkan, tapi seringkali menyalahkan dan bertanya mengapa kami harus dipisahkan. Cemburu melihat orang lain yang memiliki kisah yang sama denganku tetapi mereka masih diijinkan bersama. Kadang aku merasa Dia tak adil. Sungguh memalukannya diriku.  

Aku ini maunya apa? Menginginkan kebahagiaan hakiki dengan seseorang yang tak sejalur dalam hal keimanan. “Hei Fin! Kau pikir Tuhan tidak menertawakanmu? Kau pikir Tuhan tidak akan marah terhadapmu? Kau pikir Tuhan tidak cemburu? Bagaimana bisa kau mencintai seseorang melebihi cinta terhadap Tuhanmu? Apa kau akan tetap memilih dia sedangkan kau sendiri hidup dalam kasih sayang-Nya? Kau tidak malu?” hati terdalamku melayangkan begitu banyak pertanyaan yang membuatku tersudut. “IYA AKU MALU, AKU MALU SEKALI, SANGAT SANGAT MALU. APAKAH DIA MAU MEMAAFKAN AKU YANG SEPERTI INI? APAKAH DIA AKAN BENAR-BENAR MENERIMAKU KEMBALI? AKU MENYESAL PERNAH MENCINTAI MAKHLUKNYA MELEBIHI DIA YANG MENCIPTAKANKU. AKU SANGAT MENYESAL.” Isakku.

Aku sejatinya tahu bahwa kenangan-kenangan kami takkan pernah terhapus dari ruang ingatan. Memaksakannya untuk pergi pun merupakan kesia-siaan. Aku tak pernah menyesal bertemu dengannya, mengenalnya, mencintainya, pernah berkorban untuknya, menjadi bagian dari hidupnya, semua adalah hal bahagia yang tak patut kusesali sedikitpun. Banyak sekali pelajaran dari kisahku ini, aku seharusnya tahu ini adalah cobaan untukku. Iya, cobaan keimanan. Aku seharusnya mengerti bahwa Tuhan sangat sangat menyayangiku sehingga Dia tidak membiarkanku terlena terlalu lama. Dia tak membiarkanku jatuh ke titik terjauh. Dia sengaja mematahkan hatiku sepatah-patahnya agar diriku tidak jatuh ke orang yang belum tepat. Aku harus percaya Dia akan menggantikan sosoknya dengan seseorang yang lebih baik, seseorang yang sudah tepat, dan yang pasti seiman.
Tuhan, maukah Engkau memaafkanku? Maukah Engkau membimbingku lagi ke jalan-Mu? Maukah Engkau membantuku perlahan untuk bangkit dari keterpurukan hati tanpa harus merasa perlu bantuan laki-laki lain untuk membantuku berdiri? Maukah Engkau memberiku kebahagian dengan mempertemukanku dengan laki-laki soleh tanpa harus menodainya dengan hubungan yang tidak Engkau ridhoi? Maukah Engkau tetap membantuku untuk menjaga hati ini agar tidak kembali terluka? Bahkan aku sudah tahu bahwa Engkau akan dengan senang hati menjawab “Iya”. Sungguh aku sangat bersyukur dan berterima kasih atas garis hidup yang telah Engkau berikan.

Untukmu yang pernah mengisi hatiku, mencintaiku, menjagaku, melindungiku, dan melakukan segalanya untukku. Terima kasih untukmu. Terima kasih telah hadir. Terima kasih atas kisah bahagia yang telah kau berikan, sungguh takkan pernah kulupakan secuil pun. Kita berhasil melalui ujian ini, kita mampu menunjukkan bahwa kita lebih mencintai Tuhan kita, kita berusaha tidak egois untuk menggenggam apa yang memang bukan takdir kita, kita berhasil berhenti menyakiti banyak pihak, kita berhasil mendewasakan diri kita. Aku bangga denganmu yang seperti ini. Aku tahu kita berdua sangat sangat terluka, biarlah, asalkan bukan Tuhan dan orangtua yang kita buat luka. Menentang garis takdir hanyalah hal yang sia-sia. Bukan karena aku tak pantas mendapatkanmu ataupun sebaliknya, tetapi hanya kita diciptakan bukan untuk saling memiliki. Suatu hari kau akan bahagia dengan orang terbaik pilihan Tuhan, yang bisa menjaga dan mengurusmu sebaik aku, mungkin lebih baik dari aku.

Saat rindu menyeruak dan tak ada yang bisa kulakukan. Hanya sekumpulan kalimat yang dapat kukumpulkan.


Jakarta, 7 Desember 2016

Minggu, 26 Juni 2016

Harus Apa?



Waktu terasa lamban sekali berjalan, semua kenangan seperti film yang diputar tiada hentinya. Sebuah nama yang tak pernah sehari pun berhenti kusebut. Sketsa wajah yang tak pernah berhenti kutatap.

“Apa aku ini sudah gila?” batinku menyeruak.

“Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus berhenti mencintainya? Berpikir untuk melakukannya saja aku tak sanggup.”


Berpura-pura melupakannya dan membuka hati untuk yang lain membuatku tersiksa sedemikian dalamnya. Aku ingin berteriak keras dan ingin kumuntahkan semua kesakitan ini. Aku benci tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja tanpanya. Kadang aku letih terbangun dengan dada sesak seperti tertombak pada dinginnya malam.


Senyuman itu, dapatkah aku melihatnya lagi? Senyuman yang selalu ia hadirkan saat bersamaku.
Sentuhan lembutnya di kepalaku yang selalu menenangkanku saat marah, panik, gelisah, dan sedih, kini hanya menjadi hal semu.


Tak ada hal instan di dunia ini. Termasuk mie instan yang tetap memerlukan proses untuk bertransformasi menjadi makanan yang lezat. Mie harus merasakan panasnya didihan air untuk melunakkan dirinya hingga siap untuk disantap. Begitu pula yang harus kutempuh saat ini. Merasakat sakit luar biasa entah sampai kapan lamanya hingga hatiku kembali utuh. Tidak, hatiku takkan pernah kembali utuh. Ia telah membawa pergi potongan hatiku.


Terlalu mustahil berharap kami kembali, tak ada yang pernah berpihak pada kami, bahkan hati kami sendiri. Akhir dari semua kebahagiaan ini terlalu menyakitkan buatku, juga buatnya. Bayang-bayangnya selalu mengisi setiap sudut tempat yang kupijak. Berharap waktu bisa membawaku kembali pada saat masa-masa bahagia kami dan menyuruhnya berhenti agar semua tak begitu saja berlalu.


Jika aku dapat memasuki dunia lain yang dapat membawamu bersamaku lagi, aku memilih untuk tinggal di sana selamanya. Jika dunia tersebut hanyalah dunia mimpi, aku ingin tidur selama mungkin agar tetap bersamamu. Tapi ini semua hanyalah pengandaian belaka. Aku benci begini.


Aku ingin bertanya padanya,

“Apakah aku harus berhenti mencintaimu? Berhenti merindukanmu? Berhenti berangan memilikimu lagi? Berhenti berdoa untukmu?”

“Apakah aku bisa melakukannya?”

“Apa kau sudah melakukannya?”

“Apakah berusaha mengikhlaskanku terasa berat untukmu?”


Aku selalu iri dengan mereka yang berhasil menjalin hubungan yang sama dengan apa yang kami jalani. aku sadar Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk umat-Nya, tapi kami harus berpisah dan aku sadar dirinya bukan yang terbaik, untukku.


Untuk saat ini kami memang menyerah dengan keadaan. Lelah rasanya menghadapi pertentangan berbagai pihak, sedih rasanya menyakiti pihak lain dengan hubungan kami. Ya, pada akhirnya kami yang harus menyerah.


Merangkak aku menghadapi takdir yang tak pernah bisa kuperangi. Biar waktu yang mengobati semua luka ini. Mungkin ini akan memakan waktu lama bahkan seumur hidup. Aku pasrah.


Aku tak akan pernah bisa berhenti mencintainya hingga Tuhan bilang cukup dan perlahan membantuku mengahapus bayangnya. Tapi, akankah Tuhan berbaik hati menghadiahkan dirinya kembali untukku?


-Hati yang terdalam-

Senin, 13 Juni 2016

Anugrah Terindah



Akhirnya hari-hari memilukan itu perlahan berlalu, aku sudah mulai menyusun kembali kepingan hatiku yang berserakan dan kini aku sudah mulai bisa kembali berdiri walau masih belum sepenuhnya tegak. Tetapi, aku masih belum sepenuhnya terbangun dari mimpi burukku.

Kemarin rasanya baru saja kebahagiaanku direbut paksa. Sakit sekali rasanya. Entah siapa yang harus ku salahkan atas semua ini. Seperti sebuah gedung yang dicabut pondasinya. Habis. Hancur berkeping-keping. Tapi kini aku sadar, aku tak bisa menyalahkan siapapun. Ini halnya tentang waktu. Ya, waktu kami sudah habis. Semua harus berakhir.

Aku memang tak pernah paham definisi cinta. Aku tak pernah bisa mendeskripsikan apa itu cinta dan bagaimana itu cinta. Sedari kecil yang ku tahu hanya cinta kepada Tuhan, orangtua, keluarga, sahabat,  dan guru-guruku. Semakin bertambah dewasa aku mengenal cinta yang berbeda, cinta dari orang lain. Tetapi cinta tersebut mudah sekali hilang setelah orang tersebut pergi. Aku tidak mengerti apakah yang aku rasakan itu benar cinta atau kesenangan sesaat saja. Saat aku mulai mengenal cinta yang lain dan mulai merasa terluka olehnya, merasa dikhianati, diperlakukan seenaknya, tidak merasa dihargai, dan tak jarang diduakan. Sungguh sangat kecewa dan aku berharap seharusnya aku tidak perlu mengenal cinta selain cinta yang ku kenal sejak kecil. 

Hingga suatu hari dia datang tanpa aba. Tak ada yang spesial darinya yang menarik perhatianku diawal pertemuan kami. Yang ku tahu, semenarik apapun dia aku tak akan mungkin tertarik karena kami berbeda. Dari waktu kewaktu, kedekatan kami membuat semua yang ku yakini awalnya runtuh perlahan. Dia mengetuk pintu hatiku dengan sederhana. Tak ada kata manis, rayuan, bunga, atau kejutan yang diidam-idamkan para gadis. Dia yang apa adanya, selalu bisa menyenangkanku, menjadi teman bicaraku sehari-hari saat kami satu rumah di sebuah desa. Nyaman sekali tanpa terkatakan. Grafik hubungan kami dari mulai angka nol hingga entah di angka keberapa saat ini, semakin hari semakin naik. 

Siapa yang tidak memimpikan memiliki kekasih yang romantis? Kekasih yang penuh kejutan, mengirim bunga disaat-saat tertentu, membelikan ini itu. Ya, sejatinya aku ingin. Tetapi aku menemukan keromantisan yang lain. Keromantisan yang hanya dimiliki olehnya. Dia selalu memperlakukanku sebagai wanita, itu yang terpenting. Dia selalu menjaga dan melindungiku sekuat dan sebisanya, memperlakukanku dengan lembut, tak pernah membentak apalagi memukul, dia yang selalu sabar menghadapi omelan dan ambekanku, tahu bagaimana caranya menghadapiku, jika tidak tahu dia akan bertanya apa yang seharusnya ia lakukan untukku. Dia memberikan sebagian waktu sibuknya, menyenangkanku, menunjukkan bahwa keberadaanku untukknya juga penting. Ketika aku panik, menyebalkan, marah, atau apapun yang menjengkelkan, ia hanya akan diam, mengusap kepalaku, dan menenangkanku. Semenyebalkannya aku, ia tetap berkata dengan lembut kepadaku. Aku selalu mengingat kalimat-kalimat yang biasanya orang lain menganggap itu hanya gombalan semata, tapi bagiku itu memang ia penuhi. Dan semua kata-kata itu tak pernah terasa berlebihan.

“Aku janji gak akan bentak-bentak kamu”
“Aku gak pernah bisa kasih kamu apa-apa. Makanya aku berusaha untuk gak nyakitin kamu”
“Aku gak bisa liat kamu nangis.”
“Aku harusnya gak bikin kamu nangis kayak gini. Tapi aku harus gimana?”
“Aku gak bisa ngejanjiin apa-apa. Tapi seenggaknya aku bakalan nyenengin kamu sebisa aku”
“Ya mau kamu minta penjelasan berkali-kali pun jawaban aku akan tetep sama. Itu gimana kamu nya bisa nerima kenyataannya kayak gitu atau gak”
“Aku gak ngerti kenapa cewek sebaik kamu ada yang sampe hati nyakitin kamu sebegitunya. Gak tau bersyukur emang laki-laki kayak gitu!”
“Ya ampun jangan nangis. Aku gak marah kok sama kamu.”
“Mana bisa aku bosen sama kamu. Aku gak tau bisa dapet cewek kayak gini lagi atau gak nantinya.”
“Kamu dream girl aku banget. Dan memang cuma ada dalam mimpi aku.”
“Kamu emang bukan yang tercantik, tapi hati kamu paling cantik. Buat aku.”
“Enak yah yang nantinya jadi suami kamu. Pasti diurusin banget deh.”

Aku tak yakin ia ingat apa yang ia pernah ucapkan, tapi aku ingat dengan detil ucapannya. Ah, rasanya baru kemarin aku mendengarnya mengucapkan kata-kata itu. Begitu tertancap di hati. Samapi akhirnya kami harus berpisah, ia tak pernah meninggalkan sedikit pun luka di hati. Tak bisa dipungkiri kami juga pernah bertengkar sesekali, tapi tak pernah lama dan berlarut, semua selalu bisa kami selesaikan dengan baik. Dan bukan berarti dirinya tidak memiliki kekurangan, itu mungkin karena aku menerima dirinya secara utuh. Kami memang selalu saling melengkapi. Terlalu sempurna sampai kami sadar bahwa kami berbeda. Ya, ada tembok besar yang menghalangi kami. Sangat kokoh. Kami tak sanggup menghancurkannya. Merayap, kami berusaha melalu tembok penghalang tersebut, tapi tak pernah kunjung menemukan ujungnya. Pada akhirnya, kami yang harus dihancurkan. 

Senja kala itu, kami memutuskan harus menyudahi semua ini. Memang terlalu egois bila kami masih bersama. Banyak pihak yang kami lukai. Tuhan, orangtua, teman-teman, dan banyak lagi. Aku yakin dengan melepasnya adalah bukti ketulusan cintaku. Aku tersadar bahwa cinta tak harus memiliki bukan hanya sekedar omong kosong. Dia memang sudah yang terbaik menurutku, tetapi tidak menurut Tuhan. Untuk saat ini. Untuk kedepannya kita semua tidak pernah ada yang tahu pasti bagaimananya. 

Kami seperti minyak dan air dalam satu bejana. Terlihat bersama, namun tak dapat menyatu, hanya bersisian. Ketika bejana tersebut dikocok, kami seolah-olah bersatu, namun akhirnya kembali bersisian. Aku sadar bahwa kami hanya harus kehilangan status sebagai “kekasih”, tapi hati kami, cinta kami, rasa sayang kami masih tetap utuh, terus menyala. Dan kami tak pernah tahu kapan nyala itu akan redup, harus dikemanakan cinta ini, dan harus berapa lama disimpan. Yang jelas untukku, walau suatu hari ada orang baru yang hadir takkan pernah menggantikan posisinya. Ia punya tempat tersendiri di hatiku. 

Dan Tuhan Maha Baik tak membiarkanku benar-benar kehilangannya. Kami ada dalam sebuah keluarga “KKN”, aku masih bisa melihat senyum manisnya, mendengar suaranya, bahkan masih bisa bersua dengannya. Eksistensinya masih bisa ku rasakan walau hanya sebagai seorang teman. Kenyataan itu yang membuat hatiku kini cepat sembuh. Memang kami hanya diciptakan untuk saling berdampingan, bukan untuk bersatu. 

Kita bisa menentukan dengan siapa kita akan menikah, tetapi kita tidak bisa menentukan dengan siapa kita akan jatuh cinta. Hubungan ku dengannya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Tuhan ingin aku belajar sesuatu darinya, dan Tuhan ingin menunjukkan bahwa tak semua lelaki buruk, ada lelaki yang tulus mencintaiku, meski dia tidak diciptakan untukku. Dan aku bersyukur pernah memilikinya. Semoga ia tak pernah benar-benar pergi. Apapun hubungan kami. Selamanya.


*baca kisah kami Di sini

Jumat, 12 Februari 2016

Life of a Gamer (Arrigo C Hutajulu)


This written he dedicated for me, 'bout the story of us. It's so beautiful and i really love it. Enjoy!
............


Yes, I am a gamer. Sometimes people think that gamers only think about the games, and have no life. They tend to forget anything as soon as they touch the controller or the mouse and keyboard. They don’t feel hungry, thirsty or even pain as they play the game, blend with their game characters, and they become one person.

Well, for me, that is not completely wrong. Those statements sometimes work for me as well. I play a lot of games, and I tend to forget everything when I play. I have no life? Not really. All of those games, racing games, shooting games, role-playing games, or any other game genres, are just very little parts of one huge game, a huge role-playing multiplayer game that is called "Life". Yes, I see my life as a game, with me as the main character, and three billion other players that are ready to interact with me, help me, or maybe making things more challenging. I can do many things in this game, from simple things like showering and eating, to complicated ones like changing the world or something like that. It all depends on me, and the game designers.

In Life, there are many quests to finish. Quests for glory, quests for wealth, quests for happiness, and also, quests for love. I picked the quest of love, to find a player that would be The One for my Life. The One that can give me an enormous amount of help to finish my other quests, and vice versa. And more importantly, The One that completes my Life. I have met many players, starting and finishing quests, but I cannot find who The One that I am looking for is.

Suddenly, she appeared.

I didn't know why we met. We were just two random players bumping into each other on the way to finish our quest for knowledge. We helped each other, as we helped and were helped by 18 other players as a team to finish the quest. But as the time goes by, somehow, I felt different. I felt like the game designers had arranged our meeting just for one reason. To give me The One, the perfect one to help me complete all my quests and make my Life perfect. Yes, she is perfection. A masterpiece. A wonderful player for me to do all the things in Life.

And there is this one problem.

We have a different job, and our jobs aren't even close. It's like I am a tank driver, and she is a sniper. Every player in the game knows that a tank driver needs a mechanic, and a sniper needs a spotter. We have everything we needed to finish the quest, except this. If it is the only one barrier between us, why does it have to be this? Give me two, three, or even ten other barriers; I can break them one by one. But this, this is much more complicated. Other players said, "there are many better players out there, and they are mechanics", "you know that you two cannot form a team", or "just reset your job and be a spotter for her". It is easier said than done. I cannot simply do what they say. You must feel this way if you have the same situation.

I spent my days thinking. Sometimes I denied this situation and thought "this can't be happening." Sometimes, the anger kicked in and went "this must be the game designers' faults. Screw you, designers!" I also tried to bargain with the designers, "I can drive my tank to pull all enemies' attentions to me, and she can shoot freely." I probably got depressed one day and just thought "I can't go on with my life if someday I lose you." And you readers know what's the next step -- acceptance. Accept that she is not The One I am looking for, accept the storyline and go on with other quests.

No.

I don’t want to accept that.
I want to fight. Fight the storyline and create my own story. Fight all the words of other players that said this is not going to work for me. I don’t care. I don’t give a shit about what other players said. This is my storyline. This is my Life. I just do whatever I can to protect her from enemies, to help her with her quest as she does the same for me. Pretend that she is The One, pretend to forget the barriers between us, pretend that we have the same job. Yes, I may sound stupid, and yes, I may look stupid, but I just believe I am doing the right thing for now, and hope that it is really the right thing. I don't know what will we get from this seems-to-be-impossible situation, but if we do things right and say our hopes to the game designers, maybe someday we will find a Cave of Wonders, a Well of Wishes, Fountain of Magic or whatever it is said, that will provide a thing we really needed, a cure for our condition. A Miracle.
Well, that was the best ending. But what about if we just can’t find the Miracle and eventually have to accept the storyline? If that is the case, I can do nothing. I will surely look stupid in front of other players for trying to break the storyline, and it is going to be a hard time, but I don’t care. We do everything we can, and it’s much better than just quit the quest without doing anything at all. Everything I go through with her, whether she is The One for me or not, is a little Miracle.
And at the end of the game, I can look back, and smile upon all the things I have done in my "Life".
Especially with you, Afina Putri.

Arrigo C Hutajulu

“When there is hope, there is faith. When there is faith, miracles happen”

Senin, 18 Januari 2016

K. A. M. U


Entah kapan tepatnya aku suka kamu, entah kapan tepatnya rasa nyaman itu ada, entah kapan tepatnya bersamamu menjadi hal yang selalu ku nanti-nantikan, dan entah kapan tepatnya perasaan memiliki itu singgah, entah kapan tepatnya perasaan takut kehilanganmu menghantuiku, entah kapan tepatnya rasa sayang ini meracuni hatiku, entah kapan tepatnya semua itu datang aku tak pernah tau.

Yang aku tahu jelas tepatnya adalah aku menyukaimu bukan karena siapa kamu, apa yang kamu miliki, dari kalangan mana, anak siapa, agamamu apa, dan sebagainya. Aku menyukaimu karena kamu adalah kamu. Kamu yang selalu bersikap dan berbicara apa adanya, pendengar yang baik, pengertian, penyabar, penyayang, memiliki wajah yang selalu terlihat riang, tentunya kamu memiliki senyum yang manis, bukan senyuman penggoda atau senyuman nakal. Ah entah bagaimana kamu bisa membuat senyuman setulus itu.
Bagaimana mungkin aku tidak pernah merasa bosan sedikit pun saat bersamamu? Kamu itu yah, entah apa yang kamu lakukan yang jelas saat bersamamu aku selalu merasa bahagia. Bukan, bukan berarti kita tidak pernah bertengkar atau memiliki masalah, tetapi karena kita tahu bagaimana harus menyikapinya. Aku senang sesulit apapun masalahku denganmu kamu selalu tahu bagaimana cara mencairkan suasana, kamu tahu bagaimana cara bersikap dan membuatku tenang kembali. Bukan, bukan berarti permasalahan yang kita hadapi hanya masalah ringan-ringan saja, justru masalah yang kita hadapi sangatlah serius dan berada di titik terjauh, yasudah jalani saja, kita bukan Tuhan, kita hanya figure pemain yang memainkan sebuah drama, berharap scenario memiliki akhir cerita yang bahagia. Apa? Terlalu muluk-muluk kah? Ku rasa tidak, semua orang berhak bahkan harus berharap sesuatu yang baik. 

Katanya, kalau perbedaan umurnya hanya sedikit masih sama-sama egois, masih mau menang sendiri, tidak ada yang mau mengalah dan lebih sering berseteru dibandingkan dengan perbedaannya terpaut jauh. Ah nyatanya tidak, semua kembali ke kepriadian masing-masing. Memang memiliki pemahaman dan pengertian yang baik terhadap karakter seseorang sangatlah membantu untuk menjadikan hubungan yang selaras tanpa banyak cincong. Pemakluman terhadap kebiasaan seseorang juga suatu sikap yang sangat tidak bisa diabaikan kepentingannya. Dan banyak hal lagi yang kita miliki, sehingga saat ini aku merasa aku dan kamu sudah saling melengkapi. Apa perlu ku jelaskan? Ah sudah tidak usah, nanti orang lain iri. 

Apa-apa yang telah kita lalui sungguh sangat berarti dan bernilai bagiku. Mulai dari naik mobil sampai jalan kaki dan naik angkot, dari makan di tempat mahal sampai makan di warteg atau warung tenda pinggir jalan, dari jalan-jalan ke mall sampai ke emperan kaki lima, dari hunting sepatu di Sportstationsampai ke Cibaduyut, dari hal-hal besar hingga hal-hal kecil, yang enak dan yang tidak, sudah pernah kita rasakan dan aku senang di antara kita tidak ada yang mengeluhkannya. Aku memang yang tidak suka banyk minta dan kamu yang memang selalu merasa ingin menyenangkanku dan bingung karena merasa tidak pernah memberikanku apapun. Kamu salah. Kamu sudah memberikanku banyak hal yang orang lain belum tentu bisa melakukannya. Kamu bilang kamu bukan orang yang romantis, tapi buatku hal-hal kecil yang kamu lakukan sudah cukup membuatku bahagia.Iya, memilikimu saja adalah suatu kebahagiaan.

Aku bersyukur saat ini Tuhan memeberiku sosok yang menghargaiku, menyayangiku sepenuh hati, menjagaku, memandangku tanpa membandingkanku dengan yang lain, mengerti akan bagaimana aku dan bagaimana cara bersikap untuk menghadapi sosok sepertiku, berkomentar tanpa harus merendahkanku, menerima aku sebagai aku, dan selalu merasa beruntung memilikiku.

Apapun pandangan orang lain terhadap hubungan ini, dan apapun pandangan kita terhadap apa yang saat ini kita jalani. Pertentangan menjadi hal nomor satu yang sering kita hadapi, entah bagaimanapun nantinya yang jelas aku saat ini beruntung memiliki kamu.

Bagaimana pun kedepannya yang jelas kita percaya Tuhan punya rencana yang paling baik untuk kita berdua kedepannya. Jangan takut akan rasa sakit yang membayang-banyangi masa depan kita. Tuhan tidak sejahat itu. Walau suatu hari aku diambil dari kamu, kamu akan mendapatkan satu yang lebih baik dariku dan akan mengobati luka-luka yang ada. Dan kita juga tidak akan tahu bahwa bisa saja kita memang tidak perlu dipisahkan, biarkan mengalir akhir dari cerita ini. Manusia hanya bisa berkomentar dan menasehati, tak apa kita harus dengarkan, mungkin itu memang baik buat kita, selebihnya serahkan kepada-Nya.
Harusnya dari dulu aku menemukanmu, tapi cerita hidup ini memang susah ditebak dan memiliki timing yang tak pernah terduga. Tak apa. Yang jelas sekarang aku sudah bersamamu. Terima kasih sudah selalu ada dan membuatku bahagia :)