Kamis, 26 Maret 2015

Ketika Gerbang Pembatas Itu Ku Taklukan

Cerita ini merupakan kisah nyata yang saya tulis untuk tugas salah satu mata kuliah di fakultas saya. tema yang diangkat adalah Feminisme. semoga kisah ini menginspirasi kita semua:) 

Saya adalah anak dari seorang kuli bangunan. Saya anak kedua dari tiga bersaudara, dua saudara saya laki-laki. Kakak saya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah apartemen di kawasan Jakarta Selatan. Adik saya masih duduk di sekolah dasar. Di keluarga saya hanya saya yang merasakan manisnya perguruan tinggi, itu pun tidak saya dapatkan dengan mudah. Saya adalah orang betawi asli, dimana keluarga saya masih sangat kuno atau kolot. Anak perempuan yang masih perawan/belum bersuami benar-benar dijaga, setidaknya hanya jadi anak rumahan, sekolah pun rasanya tak perlu tinggi-tinggi, toh nyatanya saya hanya akan bekerja di rumah mengurus anak dan suami seperti ibu dan bibi-bibi saya yang lain. Entah apa yang merasuki pikiran saya waktu itu, saya ingin merasakan pendidikan yang lebih tinggi, saya tidak ingin hanya seperti ibu, ayah, dan kakak saya yang hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA saja. Saya diam-diam mengikuti program beasiswa dari salah satu universitas swasta yang jauh dari tempat tinggal saya. Semua tes saya ikuti dengan sebaik mungkin dan hasilnya saya lulus dan mendapatkan tempat tinggal gratis di asrama milik universitas tersebut. Betapa terkejutnya ibu dan ayah saya mendapat kabar kelulusan saya di sana. Mereka sangat melarang dan menginginkan saya membatalkannya karena saya harus tinggal jauh dari mereka, satu hal yang tidak bisa mereka terima mengingat saya adalah anak perempuan satu-satunya, menginap di rumah teman pun saya tidak pernah diizinkan, apalagi saya harus tinggal jauh dari mereka. Tak mudah meyakinkan mereka hingga akhirnya keluarga besar dan teman-teman saya meyakinkan mereka. Saya akhirnya diizinkan berkuliah di sana. Ternyata perjuangan saya tidak hanya sampai di sini. Ayah saya tidak bisa memberikan uang saku yang memadai untuk kebutuhan sehari-hari saya di sana. Setiap hari saya membantu salah satu teman saya berjualan roti cane, memang tidak banyak keuntungan yang saya dapatkan tapi setidaknya saya dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari saya di sana, saya pun hampir tidak pernah meminta uang lagi kepada ayah saya kecuali ada keperluan yang sangat genting. Saya juga selalu mengisi liburan semester saya dengan bekerja di sebuah kantin di kantor kecamatan, agar saya tetap memiliki uang jajan saat libur kuliah karena saat libur berarti saya tidak  bisa berjualan roti dan tak ada pemasukan.
                Setahun kemudian ibu saya meninggal dunia, semua terasa semakin sulit, adik saya entah siapa yang akan mengurus, ayah dan kakak saya pun terlalu bergantung kepada ibu, hanya saya yang diharapkan untuk mengurus mereka menggantikan ibu. Dari mulai memasak, mencuci dan mengurus kebutuhan mereka dan rumah hampir semua dilakukan oleh ibu. Saya semakin bimbang, apakah saya harus melepaskan pendidikan yang sudah saya tempuh hampir setengah jalan ini demi mengurus mereka? Sakit rasanya harus memilih, saya ingin melakukan keduanya, tetapi saya hanyalah manusia dengan segala keterbatasan. Sikap ayah dan kakak saya memang seperti menyudutkan saya, saya seperti tidak memiliki kesempatan untuk memilih, mereka seperti menuntut kodrat saya sebagai wanita yang seharusnya menggantikan peran ibu untuk mengurus mereka dan juga rumah tangga. Ini semua tidak adil menurut saya, saya pun punya kesempatan mencapai apa yang saya cita-citakan, saya berhak menyelesaikan studi saya di perguruan tinggi karena itu salah satu mimpi saya. Saya yakin Tuhan tidak tidur, Dia memang Maha Mendengar dan Maha Pengasih. Salah satu bibi saya bersedia mengurus adik saya, adik saya akan tinggal bersamanya dan akan pulang ke rumah saat akhir pekan, tetapi ayah tidak melepas adik saya untuk tinggal, dia ingin merawat adik saya. Selama itu dia tidak pergi bekerja, tak ada pemasukan, tak ada lagi kiriman uang, untuk makan mereka pun seadanya. Saya mencoba membujuk ayah untuk kembali bekerja karena kami butuh uang untuk makan dan biaya sekolah adik, persediaan uang juga semakin menipis. Akhirnya ayah mau kembali bekerja dan merelakan adik saya untuk tinggal bersama bibi.
                Di tahun kedua, beasiswa asrama saya berakhir, saya harus menyewa kamar kost, entah saya harus membayar uang sewa dari mana, saya pasrah. Tetapi saya yakin Tuhan selalu membantu saya. Tak lama kemudian, pemerintah mengeluarkan beasiswa untuk mahasiswa di seluruh Indonesia yang berada di jurusan Ekonomi Syariah. Saya sangat antusias mendapatkannya. Saya ikuti tes tertulis dan wawancara dengan sebaik mungkin. Tuhan Maha Baik. Dari ratusan orang hanya terpilih empat puluh orang saja, salah satunya adalah saya. Saya menerima beasiswa sepuluh juta rupiah, setidaknya saya merasa beban biaya perkuliahan dan biaya sewa kamar saya sudah teratasi, sisanya saya bisa tabung dan berbagi dengan adik. Dan sesudah saya menyelesaikan studi strata satu ini, saya bercita-cita untuk mengambil magister.
                Mungkin cerita saya tidak terlalu berkesan, tetapi saya merasa bisa melalu batas kotakan dan membuktikan bahwa perempuan Betawi bisa lebih maju dan berpendidikan tinggi. Tak masalah apapun rintangannya, saya percaya setiap mimpi selalu ada jalannya masing-masing. Saya membuktikan dengan segala keterbatasan saya, saya mampu mewujudkannya. Saya tidak peduli apakah saya wanita atau pria, dari suku mana saya berasal, tetapi saya yakin setiap manusia berhak mendapatkan apa yang ia cita-citakan tanpa memandang siapa dia.

                Kisah ini adalah kisah dari salah satu sahabat kecil saya. Banyak hal yang membuat saya terinspirasi darinya. Saya merasa harus selalu lebih banyak bersyukur akan kehidupan yang saya rasa jauh lebih baik darinya. Dia mengajarkan saya kekuatan mimpi, kerja keras, dan doa. Terima kasih sahabat. Engkau sungguh luar biasa. 

Teruntuk sahabatku, NM :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar