Sabtu, 24 Desember 2016

Malam Tanggal 24 Desember (Toleransi Kita)

Entah mengapa malam ini jemariku dengan sendirinya menari-nari lincah di tut keyboard laptopku. Malam ini, tanggal 24 Desember, bertepatan dengan malam natal. Mungkin karena malam natal kali ini sangat berbeda dengan tahun lalu buatmu, juga aku yang tahun kemarin masih di sampingmu.

Malam natal tahun ini sudah tidak ada lagi “Kita”. Kita yang setahun lalu di malam ini saling bercerita apa saja yang kita lakukan. Aku yang saat itu sedang sibuk mengemas barang-barangku untuk liburan ke luar kota dan kamu yang sibuk menata rumahmu menyambut hari natal besok. Malam ini aku tak lagi ke luar kota, aku di kamarku, mengenang tahun lalu. Kamu pasti melakukan hal yang sama seperti tahun lalu malam ini. Apa kamu merindukanku dan kebersamaan kita saat itu?

Desember 2015, saat itu hari raya kita bersisian. Aku ingat sekali di awal bulan desember saat kita belajar di kamar kostku aku melihat kalender untuk melihat jadwal UAS kita. Tiba-tiba aku mengagetkanmu yang sedang asyik dengan gitarku.
“Eh say, masa maulid sama natalan sampingan nih, maulid dluan tapinya.” Seruku sambil menunjuk kalender.
“Maulid itu yang apa deh?”
“Maulid itu hari kelahiran Nabi Muhammad SAW sayang.”
“Hooo.. Sama-sama hari kelahiran dong yah.”
Ah iya yah, tapi tetap saja berbeda karena  Nabi Muhammad hanya kami (umat Islam) anggap sebagai Rasul, utusan Allah. Tapi tak perlu kuungkapkan rasanya, menurutku “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” saja. Kita memang tak pernah berdebat soal agama, hanya saja kamu sering bertanya tentang apa yang dilakukan agamaku dan apa maksudnya. Kadang aku juga sesekali bertanya jika aku tak paham. Kita lebih sering sharing, tak bermaksud mencari pembenaran yang hanya berujung pada pertengkaran. Karena agama urusannya dengan keimanan atahu keyakinan, sesuatu yang tak bisa dipaksakan. Aku ingat ketika kamu mengantarku pulang kita membicarakan banyak hal salah satunya tentang natal. Ya, awalnya kukira aku akan menyinggungmu kemudian kita bertengkar, tapi nyatanya tidak sama sekali. Aku sangat ingat obrolan itu.
“Sayang.”
“Apa sayang?” sambil mengusap kepalaku dengan tangan kirinya, tangan kanannya sibuk memegang kemudi.
“Ngomong-ngomong soal natalan. Hmmm..”
“Kamu kenapa? Kok gelisah gitu?”
“Iya, maaf kalau aku gak akan ngucapin pada hari itu ke kamu.”
“Kenapa gitu?” sambil menarik tangannya dan menatap ke arahku beberapa detik.
“As you know, kalau di agamaku itu udah menyangkut Aqidah. Kenapa begitu? Karena pemahaman kita tentang Nabi Isa berbeda sayang. Kamu yakin dia sebagai Tuhan kamu, sedangkan aku yakin Nabi Isa itu rasul kayak Nabi Muhammad, utusan Allah juga. Jadi, kalau aku ngucapin sama aja aku kayak meyakini apa yang kamu percaya secara gak langsung, makanya itu udah menyangkut aqidah. Ya kan setiap agama punya peraturan masing-masing, jadi aku harap kamu ngerti.”
“Hooo.. Oke kalau emang itu alasannya. Ya mau gimana lagi kalau itu udah aturan dari agama kamu, masa aku marah atahu maksain kamu buat ngucapin sih? Kan gak. Lagian kalau aku maksa dan gak terima kamu gak ngucapin ke aku namanya jadi aku yang gak toleransi dong sama kamu. Lagian tolernsi itu kan luas, orang-orang sekarang aja yang mempersempit. Dengan gak ganggu kami badah juga udah cukup kok. Tanpa diucapin juga kami tetep khidmat-khidmat aja ngerayainnya, dan ada kamu sekarang aja aku udah seneng banget.”
“Alhamdulillah, makasih yah sayang. Kamu bijak banget sih.”
“Sama-sama sayang, aku tahu kok toleransi di antara kita emang gak mudah, aku tahu kamu orangnya cukup hati-hati juga kalau berurusan sama yang menyangkut agama. Lakuin apa yang kamu yakini aja, aku gak akan pernah maksa-maksa kamu.” Sambil kembali mengusap kepalaku dan tersenyum.
Memang benar-benar tidak mudah, aku harus terbiasa menunggu pulang dari gereja sebelum pergi kencan di akhir pekan, terbiasa mendengarkamu bernyanyi lagu rohani dengan gitarku, terbiasa mendengar lagu rohani yang kamu putar di tape  mobilmu(yang kadang langsung kuganti dengan lagu lain.hehe), terbiasa hanya melihatmu menunggu di luar atau sekedar memerhatikanku saat sholat. Kamu yang harus terbiasa menungguku sholat ketika sedang pergi ke mall atau kemana pun, terbiasa mendengarkanku mengaji saat setelah sholat maghrib, terbiasa menemaniku berbuka puasa sunnah, terbiasa menghentikan musik saat aku sedang mengaji atau mendengar suara azan. Kita yang harus terbiasa dengan cara berdoa kita yang berbeda, merayakan hari raya yang berbeda, dan pergi ke tempat ibadah yang berbeda.

Tanggal 24 Desember, pada pagi hari seperti biasanya aku menemukan pesan darimu.
“Pagi sayangku. Selamat Maulid Nabi Muhammad, selamat liburan juga sama keluarga. Love you”
Kamu juga tak lupa mengingatkanku untuk tak pulang terlalu sore karena pasti jalanan akan macet dipadati mobil-mobil yang akan menuju gereja, mengingat arah yang kulalui terdapat banyak gereja. Kamu juga tak pernah absen memberikan ucapan di setiap hari perayaan agamaku, tak pernah marah atau meminta padaku untuk memberimu ucapan juga. Saat natal tiba aku hanya bisa bilang:
“Pagi sayangku. Have a nice day baby. THR nya kumpulin buat jajanin aku yah.hoho Love you”
Dengan bercanda juga kamu menjawab:
“Pagi juga sayang. Aku setiap hari juga Nice day kok :p haha kamu mau jajan apa sih emang? Aku beliin pokokya aku lagi jadi Rich Boy gilaaaa.haha love you too”

Senang rasanya bersisian denganmu tanpa saling menyakiti satu sama lain, saling mendoakan, saling menghargai. Aku sangat tahu kemungkinan hubungan kita akan berhasil sangat-sangat kecil, tapi entah mengapa rasanya sulit sekali meninggalkanmu. Aku tahu setiap renungan malam dan setiap kebaktianmu selalu terselip kegelisahan tentang hubungan kita, begitupun aku di setiap sholatku. Kita sangat bahagia kala itu, juga sepaket dengan kegelisahan-kegelisahan yang ada. Aku yang selalu membayangkanmu suatu hari berada di shaf depan saat sholat berjamaah dan mungkin kamu juga membayankan bisa mengajakku ke gereja setiap minggunya. Tapi, Tuhan berkata lain. Kita dipertemukan hanya untuk bersisian, bukan bersatu, saling mengenal perbedaan tanpa memandang sebelah mata, tanpa kebencian, tanpa memandang najis satu sama lainnya, mengajarkan bahwa toleransi itu indah jika sesuai kadarnya tanpa mengesampingkan aturan agama masing-masing. Tuhan hanya ingin menguji seberapa besar keimanan kita terhadap apa yang kita yakini tanpa merusaknya dengan hal-hal keduaniawian. Tuhan tahu kita saling mencintai, sangat. Tapi, kita berhasil menunjukkan bahwa kita lebih mencintai Tuhan kita.


Untukmu yang sedang berbahagia malam ini dan besok, semoga sehat selalu J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar